Mulai hari Senin, 1 April 2019, lima orang pakar internasional akan bergabung dengan lima sejarawan Belanda untuk membentuk sebuah kelompok tema penelitian Comparing the wars of decolonization: Extreme violence during reoccupation and counter-insurgency, 1945-1975 ( Penelitian komparatif mengenai perang-perang dekolonisasi: kekerasan ekstrem pada masa pendudukan kembali dan kontra-insurgensi, 1945-1975). Mereka akan bersama-sama melakukan kajian tentang penyebab, bentuk, dan sifat dari kekerasan (ekstrem) yang dilakukan oleh para serdadu Belanda yang berupaya untuk menegakkan kembali kekuasaan kolonial semasa berlangsungnya Perang Kemerdekaan (1945-1949).

Bagi saya dan Bart Luttikhuis yang turut bertanggung jawab sebagai koordinator program, penelitian ini sangat kami nantikan, terlebih setelah selama satu setengah tahun persiapan yang kami lakukan di samping beragam tugas akademik yang tetap harus kami tunaikan. Sehubungan dengan ini, muncul satu pertanyaan: dengan beban akademik yang ada di pundak, akankah kami sanggup menghadapi tantangan yang telah kami rumuskan, yakni bergerak maju melampaui polemik tentang tinggi rendahnya tingkat satu kekerasan kolonial dengan kekerasan kolonial yang lain?

Membandingkan kekerasan kolonial semasa terjadinya konflik dekolonisasi telah menjadi praktik yang lazim dilakukan bahkan saat kolonisasi masih berlangsung. Pada awal tahun 1946 Jenderal Spoor membanding-bandingkan tingkat kekerasan yang dilakukan oleh serdadunya dengan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Inggris yang menduduki sebagian Jawa dan Sumatera. Perbandingan tersebut dilakukannya secara sepihak dan terbatas guna memberikan keuntungan moral bagi Belanda. Hal yang sama juga dilakukan pada tahun 1948 ketika Angkatan Udara Kerajaan Inggris membom pemberontak komunis di negeri jiran, Malaysia. Perbandingan-perbandingan tersebut jelas hanya mementingkan diri sendiri dan sangat serampangan. Lagipula, apakah gunanya membanding-bandingkan tingkat dan bentuk kekerasan bagi mereka yang berada posisi yang ditimpakan kekerasan tersebut—seperti kekerasan yang diderita oleh para petani Jawa atau Melayu.   

Perbandingan kekerasan seperti di atas kerap digunakan sebagai sebentuk pewajaran. Selepas Joop Hueting, seorang veteran, pada sebuah wawancara televisi nasional Belanda di tahun 1969 memberi kesaksian tentang kekerasan menyeluruh yang dilakukan pasukan Belanda pada masa revolusi fisik, ratusan veteran Belanda lainnya mengirimkan surat penuh amarah ke stasiun televisi tersebut. “Kami pasukan Belanda tidak pernah melakukan kekejian semacam itu. Hanya pasukan Jerman, Perancis, dan Amerika saja yang melakukannya, sementara kami tidak.” Akan tetapi, kajian-kajian sejarah terbaru justru menunjukkan bahwa sebagian besar serdadu Belanda tersebut melakukan persis apa yang dilakukan oleh pasukan Jerman dan Jepang yang pernah menjajah mereka. Frekuensi munculnya perbandingan semacam ini terbilang sangat tinggi apabila dilihat dari buku-buku harian yang mereka tulis sendiri.

Ikitikad kami dalam melakukan perbandingan tingkat kekerasan juga memunculkan kecurigaan dari sebagian khalayak yang khawatir bahwa perbandingan yang kami lakukan atas praktik-praktik penyiksaan, eksekusi, dan pembakaran rumah, akan berujung pada pewajaran atas segala kekerasan  yang telah dilakukan tentara Belanda. Akan tetapi, kami justru hendak menghindari perbandingan semacam itu, yakni yang berujung pada klaim bahwa pasukan negara lain lebih kejam daripada pasukan Belanda. Perbandingan yang kami lakukan justru akan menjawab pertanyaan mengenai pada sisi manakah kekerasan yang dilakukan tentara Belanda terbilang luar biasa, dan pada sisi sebelah manakah kekerasannya bersifat tipikal. Mengapa kekerasan ekstrem sampai harus dilakukan dan menjadi pilihan logis serta wajar untuk dilakukan terhadap Indonesia, Aljazair, dan Kenya? Mencari jawaban atas pertanyaan tersebut dengan pendekatan komparatif dapat memberi kerangka analitis bagi para peneliti yang tergabung dalam kelompok penelitian ini. Selanjutnya, kami akan mengundang para pakar yang akan berbagi gagasan tentang teori kekerasan kolonial dan tentang perang sipil secara lebih mendalam, contohnya dengan membandingkan peperangan kolonial yang dilancarkan oleh pasukan Perancis, Inggris, dan Amerika di sekitar tahun 1900an.

Tim peneliti akan melakukan ini semua melalui metode akademis yang mirip dengan pengaturan pada ‘panci presto’ agar penelitiannya matang sempurna. Semuanya dilakukan di NIAS, dalam sebuah suasana kajian lintas disiplin. Rencananya, temuan awal dari penelitian ini akan disajikan pada sebuah konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 20 Juni 2019, yang kemudian diikuti oleh sebuah lokakarya yang lebih besar di keesokan harinya. Pada Juni 2020, jurnal sejarah terkemuka BMGN-Low Countries Historical Review akan menerbitkan sebuah forum berbahasa Belanda yang menyediakan ruang bagi para anggota kelompok tema penelitian ini untuk berdiskusi dan memaparkan temuan penelitian. Selanjutnya, hasil temuan penelitian utama akan dikumpulkan dalam sebuah bunga rampai yang diterbitkan oleh Cornell University Press pada tahun 2021.